
Gerbang
Selatan.com – Perubahan
kebijakan penyerapan hasil Panen jagung ditingkat petani menjadi
kegelisahan para petani yang tergabung di dalam Gabungan Kelompok Tani
(Gapoktan) di Lampung Selatan.
Berbagai upaya ditempuh Gapoktan di Lampung Selatan agar perubahan
kebijakan penyerapan jagung oleh pemerintah melalui Perum Bulog tidak
diberlakukan karena tidak membela kebutuhan para petani.
Pada akhir bulan Mei lalu, perwakilan Gapoktan Lampung Selatan
mengadukan kegelisahan petani bertemu dengan sejumlah pejabat di Jakarta.
Seperti Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian
Pertanian, dan Komisi IV DPR RI. Mereka menyampaikan keberatan dan meminta agar
regulasi HPP jagung ditinjau ulang.
Sambil menunggu kebijakan baru dari pemerintah pusat soal keluhan petani
tersebut, perwakilan Gapoktan Lampung Selatan melakukan audiensi dengan Komisi
II DPRD Lampung Selatan, Senin (16/6/2025).
Sebanyak 18 orang perwakilan Poktan dan Gapoktan hadir dalam pertemuan
tersebut, berasal dari Kecamatan Bakauheni, Ketapang, Penengahan, Sragi,
Kalianda, Sidomulyo, Natar, dan Rajabasa.
Mereka menyampaikan aspirasi penerapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP)
terhadap jagung yang dinilai tidak berpihak pada petani.
Audiensi tersebut dihadiri Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan
Perkebunan Kabupaten Lampung Selatan.
Ketua Koordinator Poktan dan Gapoktan Lampung Selatan Suyatno
mengatakan, pemerintah telah menetapkan HPP jagung sebesar Rp 5.500 per
kilogram dengan kualitas kering simpan, yakni kadar air maksimal 14 persen.
Ketentuan ini mulai diberlakukan sejak Mei 2025 oleh Bulog.
“Padahal pada Maret dan April jagung petani bisa diserap dengan standar
kering panen yang kadar airnya masih di kisaran 30–35 persen. Inilah yang kami
harap bisa ditinjau kembali,” ujar Suyatno.
Suyatno menjelaskan, mayoritas petani tidak memiliki fasilitas pengering
yang memadai untuk mencapai standar kadar air 14 persen. Dengan kebijakan baru
itu, jagung hasil panen tidak bisa dikirim ke Bulog meski HPP telah ditetapkan.
“Jika patokannya tetap 14 persen kadar air, maka hampir semua petani
tidak bisa menjual ke Bulog. Ini membuat kami hanya bisa menjual ke pasar bebas
dengan harga yang lebih rendah Rp 3.000 sampai Rp 3.500 per kilogram,” jelasnya.
Kondisi ini, kata Suyatno, sangat bertolak belakang dengan semangat
pemerintah dalam meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani. “Harapan
kami, skema penyerapan kembali seperti semula agar petani benar-benar bisa
menikmati harga HPP,”ujarnya.
Pada audiensi itu, perwakilan petani yang hadir juga membandingkan
kebijakan HPP jagung dengan gabah. Saat ini, pemerintah menetapkan HPP gabah Rp
6.500 per kilogram dengan kualitas kering panen.
“Kalau gabah bisa diserap langsung dengan kondisi kering panen, mengapa
jagung tidak bisa? Padahal sama-sama dari petani. Ini yang menurut kami tidak
adil,” ujarnya.
“Kami tidak menolak penetapan HPP. Tapi tolong disesuaikan dengan
kondisi nyata di lapangan,”timpal Suyatno.
Menyikapi itu, Ketua Komisi II DPRD Lampung Selatan Syaiful Azumar
menyampaikan pihaknya akan menindaklanjuti masukan tersebut dan menyampaikannya
ke instansi berwenang di tingkat pusat.
“Kami akan kawal aspirasi ini dan akan segera menyampaikan ke
kementerian terkait agar ada kebijakan yang lebih berpihak kepada petani,” kata
Syaiful saat menerima audiensi.
Audiensi turut dihadiri Wakil Ketua Komisi II Amelia Nanda Sari,
Sekretaris Kasmani, dan anggota komisi Edo Saputra Wijaya, Supriyati, Fitri
Purwanti, serta Suhadirin. Sementara dari pihak eksekutif hadir perwakilan dari
Dinas TPH dan Perkebunan Lamsel.
Seperti diketahui, saat ini petani jagung di Kabupaten Lampung Selatan
mulai memasuki musim panen Jagung. Kebijakan pemerintah yang tidak berpihak
pada petani menjadi keluhan dan kegelisahan petani saat ini.
Pasalnya, harga HPP jagung yang diserap Bulog tidak membela harapan
petani yang telah mengeluarkan modal yang cukup besar. Petani merinci modal
yang dikeluarkan sejak mulai pengolahan lahan, penanaman, perawatan hingga
panen sangat besar.
“Biaya untuk menanam jagung setiap tahun terus mengalami peningkatan.
Mulai mengolah lahan, pembelian obat-obatan, pupuk, bibit dan lain-lain terus
meningkat. Peningkatan biaya itu tidak di imbangi dengan harga jual yang
sepadan. Ditambah lagi kondisi cuaca yang kurang mendukung. Petani semakin
terpuruk,” tutur Wagiono, petani asal Sripendowo, Kecamatan Ketapang.(Rls)